Sedikit tentangku

Tuesday 24 July 2012

Lalu Aku, Siapa yang Perhatikan?

Dakwatuna.com - Roda arus kepemimpinan terus berputar, berirama. Roda ini pula yang entah sengaja atau tidak mengantarkanku pada terminal sepi ini. Menanti. Aku dan beberapa penumpang lainnya celingak celinguk, Bus mana yg akan mengangkut kami? Siapa yang akan menyetir perjalanan kami? Kemana kami akan dibawa pergi? Dengantertatih dan mencoba memberanikan diri, kami susuri jalan. Bus tumpangan tak kunjung datang. Takut-takut kami melangkah, takut salah. Hingga kami sampai ke suatu tempat, masih linglung. Benarkah jalan yang kami ambil tadi? inikah memang tempat tujuan kami? Tak satupun yang bisa menjawab, 'ya, mungkin', 'eh tapi sepertinya bukan'. Tidak ada kepastian. Hingga kami putuskan untuk tetap berjalan, berharap ada cahaya disana. Tak jarang kami terpeleset, terjerembab, dan sering pula kami terperangkap dalam satu jebakan yang indah luarnya. Tapi kami seolah tidak punya pilihan. Terus berjalan sambil menyemangati diri berucap lirih, harapan itu masih ada. 
Sekelumit kisah tadi menggambarkan kondisiku hari ini.
Ingin rasanya aku kembali ke masa lalu. Saat dimana aku mendapat perhatian penuh. Hingga tak jarang aku yang sedikit nakal menghindar dari tatapan sayang, rangkulan manja. Kini aku tidak berani menanti. Bayangkan, menantipun aku tidak berani lagi. Menanti hal seperti itu bakal hadir kembali dalam perjalanan dakwah ini rasanya hanya satu kemustahilan. Aku berjalan bersama satu dua orang dengan amanah dipundak. Berat. Untuk sedikit tertawa saja rasanya tidaka ada waktu yang tepat. Saat ingin bersenang-senang sebuah pesan singkat dan tidak jarang panggilan telpon mengusikku. Bolehkah aku istirahat sebentar?
Aku harus memperhatikan adik-adik, membimbing, dan parahnya aku harus bisa menjadi teladan. Apa yang harus aku turunkan pada mereka, haaah?
Jika ditanya aku tidak jauh lebih pintar dari mereka. Akupun merasa tidak dibelajarkan penuh dahulunya, dan sekarang ingin mengajarkan? Bagaimana? haaah, akupun yakin adik-adik pun mengetahui kelemahan dan keterbatasanaku ini. Bisa jadi bertanya padaku hanyalah ingin menjaga perasaanku sebagai senior untuk menanyakan sedikit pendapat, tidak lebih.
Aku menjalani profesiku ini dengan tertekan, ada yang peduli? Tugas kuliah sudah tidak terkondisikan, teman-teman sekelas mulai tidak paham dengan alur pikiranku yang bercabang-cabang, hak mata dan tubuh mulai tak terpenuhi, dan aku nyaris tak mengenali diriku sendiri. Haruskah aku bertahan dengan topeng ini? Atas semua kejadian ini? Ada yang bertanggung jawab?
Yang lain butuh perhatianku. Lalu aku? siapa yang Perhatikan?
Baik, salahkan aku yang tidak belajar maksimal kala itu, tapi hanya salahku?
Dimana qiyadah-qiyadah yang memberiku amanah ini? Ya, walau katanya amanah ini dari Allah namun kan mereka harus bertanggung jawab. Aku tidak merasakan pembelajaran dari mereka. Mereka pikir aku paham menjalankan ini semua? Hei, aku tidak secerdas yang kalian bayangkan. Aku dengan senyum yang sering kuuntai hanya mencoba menghibur diri sendiri, tidak lebih. Beban ini berat, aku tidak sanggup. Dan aku pun tidak pernah di gembleng tuk di arahkan menerima amanah ini. Lalu aku bergerak hari ini dengan bahan bakar yang pas-pasan, salah siapa?
Kalian tau, aku sering kali takut melangkah. Masih sering aku bertanya, memang beginikah yang ada dalam sistem? atau kah aku yang sudah merusak sistem yang ada? Saat aku tanyakan pada kalian, yang aku terima hanya anggukan dan jawaban singkat. Tidak adakah segelas air yang bisa kalian bagi untukku yang haus? Haus sekali, dan lapar. Ataukah kalian juga belum paham sistem dalam dakwah ini?
namu saat kutanyakan pada qiyadah yang lain, aku tidak diizinkan berbuat. Ada banyak sekali peraturan-peraturan yang diberikan hingga aku semakin enggan untuk melangkah, apalagi berlari. Hingga aku berjalan di tempat menunggu bola datang. Pasrah.
Dimana pula murobbiku? Mereka bilang murobbi adalah guru, sahabat, abang/kakak, dan bisa jadi seperti orang tua. Aku tidak yakin bahwa kalian sudah merasakan hal itu. Bisa jadi itu hanya pemanis dibibir saja agar aku terus bertahan disini. Mereka bilang murobbi tempat curhat, apa? Aku tidak punya kesempatan untuk sedikit bercerita. Semua kami seolah diburu padatnya agenda sebelum dan sesudah halaqah. Ya, aku dan teman-teman sering terlambat kuakui. Tapi setelah itu? Berjalan datar. Tidak ada yang special. Murobbi pun tampaknya sangat sibuk. Kembali aku harus menelan ludah. Pahit. Kuurungkan niat untuk sedikit berbagi cerita, tentang ibu yang sakit. Tidak ada khabar. Seolah halaqah hanya agenda rutin yang tak bermakna. Aku harus mengalah, yah murobbiku sibuk.
Diman teman-teman yang dahulu berikrar setia dalam suka dan duka? mereka sibuk denga nurusan masing-masing dan aku tertinggal jauh dibelakang untuk urusan yang itu. Lagi-lagi, aku mengalah. Pertanyaan-pertanyaan kabar yang kuterima lewat HP seolah tidak punya ruh. Akupun tidak berniat unuk membalas. Hingga taujih-taujih yang menghiasi inbox tak mampu mengusir kekesalanku. Aku ingin kalian ada disampingku, hanya itu. Tidak pahamkah kalian perasaan ini? aku ingin kita sama-sama membuat keputusan-keputusan ini. Tidakkah kalian tau bagaimana keterbatasan pemikiranku? Aku tak secerdas kalian. Banyak keputusan yang salah yang kuperbuat. Inginkah kalian aku terjatuh ke jurang ini terus? Aku melihat kalian sangat kritis, lha aku?
Lalu, siapa yang perhatikan aku?
Sejenak aku terdiam. Aku bahkan lupa kapan terakhir tilawah 2 juz ku perhari dan kapan sujud raka'at ke 8 shalat malamku.

No comments:

Post a Comment