Sedikit tentangku

Monday 9 January 2012

Aku Ingin Bertemu Khalifah

Oleh: Saad Saefullah

Balikpapan Senja
Kesederhanaan penampilan Umar bin Khattab sesungguhnya merupakan nasehat dan ajakan berdakwah kepada siapa saja yang melihatnya.
Sepeninggal Rasulullah saw, sebenarnya tidak sedikit sahabat yang cenderung memilih Umar bin Khattab sebagai pengganti. Umar itu berani, gagah perkasa, jujur dan adil.
Bahkan pada waktu tengah dibicarakan siapa yang pantas menjadi pemimpin setelah Nabi wafat, Abu Bakar Ash Shiddiq mendekati Umar dan mengulurkan tangannya seraya berkata, "berikan tanganmu hai sahabatku. Kami akan membaiatmu sebagai pengganti Rasulullah."
Umar menyodorkan tangannya. Tetapi untuk menyanggah. "Tidak," ujarnya, "Akulah yang akan mengambil tanganmu. Sebab engkaulah yang kami baiat."
"Engkau lebih baik dan lebih kuat dariku, Umar."Kilah Abu Bakar.
"Kebaikan dan kekuatanku akan menyertaimu sebagai pemimpin kami,"jawab Umar.
Maka para sahabat pun serempak menyetujui pendapat Umar untuk menahbiskan Abu Bakar selaku khalifah untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan Rasulullah saw demi kepentingan umat banyak.
Dan ketika sakit keras menjelang ajalnya, dengan meminta pertimbangan para sahabat yang lain, Abu Bakar menetapkan Umar supaya kelak menggantikan kedudukannya.
Sebenarnya Umar ingin menolak mengingat tanggung jawab seorang pemimpin dianggapnya terlalu berat baginya. Apalagi dalam pandangan Umar, pemimpin suatu kaum, pada hakikatnya pelayan bagi kaum itu sendiri.
Namun lantaran sudah dipilih secara bulat, maka ia tidak bisa lagi mengelak, ia terpaksa menerima keputusan itu.
Satu tahun setelah kepemimpinannya, seorang pedagang Yahudi dari Mesir datang ke Madinah. Ia ingin menemui khalifah Umar. Namun ia sungguh belum tahu, yang mana Umar bin Khattab, kepala pemerintahan negeri Islam yang wilayahnya makin meluas itu. Kepad seseorang yang ia temui diperjalanan, ia bertanya, "Dimanakah istana raja negeri ini?"
Orang itu menjawab,"Lepas Dhuhur nanti, ia akan berada ditempat istirahatnya di depan masjid. Dekat pohon kurma. Jika kau ingin menemuinya, pergilah ke tempat itu."
Yahudi itu sesungguhnya membayangkan, alangkah indahnya istana khalifah, dihiasi kebun kurma yang rindang, tempat berteduh merintang-rintang waktu.
Maka tatkala tiba dimuka masjid, ia kebingungan. Sebab disitu tidak ada bangunan megah yang mirip istana. Memang ada pohon kurma, tetapi cuma sebatang saja.
Dan dibawahnya, tampak seorang lelaki kekar dengan jumlah yang sudah luntur warnanya tengah tidur-tidur ayam. Yahudi itu mendatanginya dan bertanya, "Maaf, saya ingin berjumpa dengan Umar bin Khattab."
Sambil bangkit dan tersenyum Umar menjawab,"Akulah Umar bin Khattab."
Yahudi itu terbengong-bengong,"Maksud saya Umar yang khalifah, pemimpin negeri ini."
Umar menjelaskan, "Akulah khalifah, pemimpin negeri ini."
Yahudi itu makin kaget. Mulutnya terkatup rapat, tidak bisa bicara. Ia membandingkan dengan para rahib Yahudi yang hidupnya serba gemerlapan dan para raja Israel yang istananya tak kalah agung.
Sungguh tidak masuk akal, kalau ada seorang pemimpin dari suatu negara yang begitu besar, tempat istirahatnya hanya di selembar tikar, dibawah pohon kurma ditengah langit yang terbuka.
"Dimanakah istana Tuan?" Tanya sang Yahudi.
Umar menuding,"Di sudit jalan itu. Bangunan nomor tiga dari yang terakhir, kalau yang kau maksudkan adalah kediamanku."
"Maksud Tuan, yang kecil dan kusam itu?" si Yahudi tambah keheranan.
"Ya. Namun itu bukan istanaku. Sebab istanaku berada dalam hati yang tentram dengan ibadah kepada Allah swt." Sambut Umar sembari tetap tersenyum.
Yahudi itu kian tertunduk. Kedatangannya yang tadinya hendak melampiaskan kemarahan dan tuntutan-tuntutan, berubah menjadi kepasrahan dengan segenap jiwa raga.
Sambil matanya berkaca-kaca ia berkata,"Tuan saksikanlah, sejak hari ini saya meyakini kebenaran agama islam. Izinkan saya memeluk islam sampai mati."
Setelah mengikrarkan syahadat, orang itu akhirnya pergi dengan dadanya dipenuhi suka cita. Umar sendiri terus memperhatikannya dengan baik-baik.Ia memandangi pohon kurma dihadapannya. Ia juga memandangi pakaiannya sendiri.
Baginya, sebagai seorang pemimpin penampilannya harus benar-benar mencerminkan kesederhanaan. Baginya apalah artinya sebuah kekuasaan jika hanya harus menyakiti umatnya yang banyak?.